BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Faktor Keselamatan Penerbangan
Pertumbuhan maskapai penerbangan di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami meningkat, ditandai dengan bermunculannya maskapai baru dan meningkatnya jumlah pesanan pesawat terbang. Namun pertumbuhan tersebut tidak ditunjang dengan ketersediaan prasarana yang memadai, banyak prasarana yang dibutuhkan dalam pengoprasian transportasi udara. Diantaranya adalah landasan pacu, Bandar udara, menara nafigasi untuk memandu pilot dalam menerbangkan pesawat, dan lain-lain yang berfungsi sebagai penunjang pengoprasian penerbangan dan keselamatan penerbangan.
Namun pada kenyataannya prasarana penerbangan di Indonesia dikelola oleh banyak pihak yang saling berkaitan, mulai dari BUMN hingga institusi lain yang berkaitan. Bahkan ada juga institusi dari pihak asing yang ikut ambil andil, mulai dari penyediaan radar hingga alat Bantu navigasi lainnya. Tentunya akan sangat susah memenuhi standar mutu baik bila dari prasarana yang menunjang keselamatan penerbangannya sendiri dikelola oleh pihak yang berbeda-beda.
Di Indonesia, beberapa tragedy kecelakaan pesawat banyak dikaitkan dengan kondisi pesawat yang sudah tua dan dianggap sudah tidak layak pakai. Padahal jika perawatan pesawat diawasi lebih teliti dan diberlakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku, juga patuh pada regulasai dalam penggunaannya. Pesawat yang berumur sangat tua pun masih dapat diterbangkan dengan aman. Begitu pula sebaliknya, pesawat keluaran terbarupun jika perawatannya kurang diawasi dan dalam penggunaannya tidak sesuai dengan peraturan ,tidak menutup kemungkinan terjadi kecelakaan.
Kesiapan awak pesawatpun menjadi faktor penting dalam keselamatan penerbangan, banyak kejadian kecelakaan pesawat yang disebabkan karena faktor human eror. Kualitas SDM yang bersangkutan dalam jalannya penerbangan harus lebih ditingkatkan. Karena faktor SDM dan kelengkapan prasaranalah yang paling sering menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan di tanah air. Bukan semata-mata karena faktor umur pesawat yang sudah tua, sehingga banyak terjadi kecelakaan pesawat. Kedisiplinan masalah keselamatan dan pengawasan yang ketat terhadap regulasi penerbangan, juga penegakan hukum yang tidak pandang bulu terhadap semua yang melakukan pelanggaran dapat meminimalisir tingkat kecelakaan pesawat di Tanah Air.
Jika dibandingkan dengan maskapai penerbangan asing, umur pesawat yang digunakan oleh mereka tidak jauh beda dengan umur pesawat yang digunakan di Indonesia. Namun dalam pemeliharaannya maskapai penerbangan asing jauh lebih disiplin karena mereka diaudit oleh badan oleh badan asing bertaraf internasional. Sedangkan maskapai penerbangan RI tidak.
3.2 Kualitas Maskapai Penerbangan Tanah Air
Maskapai Penerbangan Republik Indonesia, sudah lebih dari satu tahun dilarang terbang ke Eropa. Ada kabar yang beredar hal tersebut dikarenakan faktor politis, namun beredar juga rumor yang mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena klarifikasi terhadap banyaknya kejadian kecelakaan pesawat yang ada di Indonesia. Menurut Chappy Hakim yang bertugas sebagai pemimpin delegasi pemerintah Indonesia ke Brussel bulan Agustus 2008 untuk mengetahui lebih jauh tentang “ban UE” (larangan terbang yang dikeluarkan Uni Eropa), larangan maskapai penerbangan RI memasuki wilayah udara UE tersebut disebabkan karena ditemukannya 121 penyimpangan dari aturan baku keselamatan terbang internasional oleh ICAO (International Civil Aviation Organization). Hal yang kedua adalah, UE mempertanyakan tentang metoda yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Republik Indonesia dalam melakukan “kategorisasi” Maskapai Penerbangannya.( http://umum.kompasiana.com)
Standarisasi maskapai penerbangan yang baik sangat dibutuhkan dalam memperbaiki citra penerbangan Republik Indonesia, juga tindak lanjut atas 121 temuan penyimpangan oleh UE yang ada pada penerbangan RI. Yang seharusnya dilakukan bukan melobi pihak UE untuk mencabut larangan masuknya maskapai penerbangan RI ke UE, tapi akan lebih baik jika 121 penyimpangan yang ditemukan ICAO ditindak lanjuti. Sehingga UE tidak punya alasan lagi untuk melarang maskapai penerbangan Indonesia masuk ke UE. Selain itu dengan langkah yang tepat dapat memperbaiki citra maskapai penerbangan Indonesia menjadi baik di mata pihak UE, dan keamanan penerbangan di Indonesia menjadi lebih aman. tentang kategorisasi maskapai penerbangan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, kiranya memang seyogyanya lebih disempurnakan lagi dan mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang standar internasional. Saat ini yang tengah disoroti dalam dunia penerbangan kita adalah aspek “safety”, jadi logika nya adalah, kategorisasi yang dilakukan harus berdasar kepada masalah keselamatan terbang. Pada kenyataannya, kategorisasi yang telah dilaksanakan selama ini adalah yang mengacu kepada “kinerja operasional“. Inilah terutama yang menjadi pertanyaan dari pihak UE.
3.3 Penggunaan Bahan Bakar Alternatif
Mencari bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil bukanlah perkara yang mudah. Namun dengan kemauan yang keras dan usaha yang maksimal, bukan hal yang tidak mungkin bahan bakar avtur tergantikan dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan jumlahnya mencukupi. Selama ini industri penerbangan di Indonesia menggunakan derivatif hasil dari penyulingan minyak bumi berupa Jet-A atau yang lebih dikenal sebagai avigas/avtur sebagai bahan bakar pesawat terbang. Yang dimana Pertamina Aviationlah, satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan avtur bagi insustri penerbangan yang ada di Indonesia.
Pada tahun 2008, industri penerbangan di Indonesia mendapat tekanan berupa isu mengenai kirisis bahan bakar minyak yang melanda dunia. Harga minyak melambung melampaui rekor mencapai angka diatas $100 lebih per liter. Di Indonesia perkembangan harga avtur dari Pertamina Aviation bergantung kepada harga minyak dunia dan kurs US Dollar terhadap rupiah plus biaya lain seperti PPN, biaya transport, dan margin keuntungan. Krisis tersebut disebabkan karena menipisnya ketersediaan minyak pada kilang minyak yang sudah ada, ditambah tidak ditemukannya sumber minyak baru yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi kilang minyak yang baru.
3.3.1 Fuel Surcharge
Fuel Surchage merupakan komponen kebijakan baru dalam penetuan tarif jasa penerbangan Indonesia, baik domestik maupun internasional yang terpisah dari komponen biaya yang telah ada selama ini (sumber: Position Paper KPPU Terhadap Fuel Surcharge Maskapai Penerbangan).
Pemberlakuan fuel surcharge merupakan upaya maskapai penerbangan untuk menutupi biaya pembelian bahan bakar pesawat dengan melimpahkan tanggungan kepada penumpang. Pemberlakuan kebijakan ini tentunya dengan izin pemerintah yang bertanggungjawab sebagai regulator, yaitu departemen perhubungan (dephub). Langkah ini dilakukan dalam rangka meningkatnya harga bahan bakar pesawat (avtur), yang terpengaruh oleh peningkatan harga minyak dunia. Biaya fuel surchrage ini tidak boleh dijadikan komponen margin oleh maskapai penerbangan. Penerapan fuel surhchage sendiri merupakan fenomena yang lumrah terjadi dalam industri penerbangan. Fuel surchrage juga terjadi pada industri penerbangan di negara-negara lain. Hal yang kemudian menjadi permasalahan dan dikatakan merugikan konsumen oleh KPPU adalah, ketika harga avtur turun fuel surchageyang dikenakan oleh maskapai penerbangan tidak ikut turun. Bahkan cenderung naik. Pada titik inilah pelanggaran dilakukan oleh masakapai karena dianggap mengambil margin dari biaya fuel surcharge yang dikenakan pada konsumen dan dijadikan sebagai pendapatan perusahaan.
Para pemilik saham maskapai penerbangan di Indonesia telah menyepakati bahwa implementasi fuel surcharge sebagai komponen tarif penerbangan merupakan suatu hal yang wajar dan dapat dimaklumi, selama kebijakan fuel surcharge tersebut memang ditujukan untuk menutup kenaikan biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur semata dan berada pada taraf yang wajar. Menindak lanjuti kebijakan tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kemudian memutuskan untuk melakukan kajian dan analisa terhadap pemberlakuan fuel surcharge tersebut. Dengan adanya pengawasan dari KPPU diharapkan tidak ada pelaku usaha (pihak maskapai penerbangan) yang melakukan kecurangan dan melenceng dari UU No. 5 Tahun 1999.
Dalam penerapan fuel surcharge, tidak semudah yang dibayangkan. Tentunya ada halangan yang menghambat jalannya kebijakan tersebut. Ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa kebijakan yang ditetapkan Departemen Perhubungan (Dephub) hanya sekedar “gali lubang tutup lubang”. Mengingat harga tiket yang ditetapkan maskapai adalah harga sebelum kenaikan harga minyak, tidak terlalu banyak berpengaruh menyelesaikan masalah. Beruntung situasi mulai pulih akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009. Beruntung pula tidak ada maskapai nasional yang gulung tikar, berbeda dengan kondisi maskapai penerbangan asing yang banyak tutup akibat dari krisis minyak.
3.3.2 Gas To Liquid
Gas to Liquid, berarti mengkonservasi gas alam atau hidrokarbon menjadi bahan bakar bensin atau solar. Gas metana yang jumlahnya sangat banyak dikonversi menjadi bahan bakar cair. Teknologi Gas To Liquid (GTL) di dunia saat ini, sedang mengalami pengembangan. Selain dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif, Gas To Liquid juga dapat diolah lebih lanjut hingga menghasilkan pupuk urea yang dapat digunakan sebagai industri tani. IATA (International Air Transport Association) mengatakan bahwa bahan bakar alternatif yang akan digunakan sebagai pengganti avtur harus berkualitas sama atau bahkan lebih baik dari avrtur dan dalam pengoperasiannya tidak perlu sampai harus mengubah rancangan pesawat atau tempat penyimpanan bahan bakar. Dan yang paling penting adalah, hasil pembakarannya tidak menghasilkan gas buang yang banyak dan dapat merusak lingkungan.
Oleh karena itulah gas alam menjadi solusi dari masalah krisis minyak di dunia yang melanda pada tahun 2008 silam. Dengan teknologi GTL, cadangan gas sebesar 1 TCF (Trillion Cubic Feet) dapat menghasilkan produk GTL berupa bahan bakar sintetis berupa diesel dan naphtha sebesar 10,000 barrel/hari selama 30 tahun, dengan asumsi laju alir umpan gas alam sebesar 100 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day). Data terakhir BP Statistics mencatat jumlah cadangan gas Indonesia tahun 2002 sebesar 92.5 TCF. (http://migas-indonesia.net)
Beberapa pemegang paten seperti Sasol Ltd., Shell, ExxonMobil, Rentech Inc., Syntroleum Corp., JNOC, dll, telah berhasil mengoperasikan kilang-kilang GTL di berbagai penjuru dunia seperti Nigeria, Mesir, Argentina, Qatar, Iran, Malaysia, dan Australia. Produk yang dihasilkan dari teknologi GTL ini meliputi: naphtha, middle distillates, dan lilin (waxes), namun dapat juga di arahkan ke produk dimetil eter (DME), dan metanol. Dari beberapa produk GTL tersebut, middle distillates (diesel dan bahan bakar jet) dapat mengganti langsung diesel berbasis minyak bumi yang digunakan selama ini dalam mesin diesel (compression ignition engines). Produk samping yang dihasilkan berupa hidrokarbon ringan (tail gas) masih dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga (power generation), sedangkan hidrogen dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam merancang kilang GTL terintegrasi.( http://migas-indonesia.net)
Ada 4 tahap dalam menerapkan teknlogi Gas to Liquid, proses pertama adalah pemurnian gas. Kemudian tahap selanjutnya adalah tahap pembuatan gas sintetis, yang kemudian dilanjutkan dengan tahapan reaksi atau yang disebut dengan Fischer-Tropsch, dan tahap yang terahir adalah tahapan peningkatan kualitas produk. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tahapan-tahapan produksi Gas To Oil.
1. Tahapan Pemurnian Gas (Gas Purification)
Pada tahap ini, gas alam yang keluar dari sumur dibersihkan dari senyawa-senyawa yang dapat mengganggu jalannya proses selanjutnya. Senyawa-senyawa tersebut diantaranya : H2S, CO2, H2O, dll. Teknologi komersial yang dapat digunakan diantaranya proses absorpsi menggunakan pelarut tertentu, misalnya : MEA (monoetanolamin), DEA (dietanolamin), dan TEG (trietilen glikol).
2. Tahapan Pembuatan Gas Sintesis (Synthesis Gas Process)
Pada tahapan ini, gas alam yang telah dibersihkan, direaksikan sehingga menghasilkan gas sintesis. Gas sintesis atau SynGas adalah istilah yang diberikan kepada campuran gas karbonmonoksida (CO) dengan hidrogen (H2) yang digunakan untuk mensintesis berbagai macam zat seperti metanol dan ammonia. Proses pembuatan gas sintesis yang telah komersial adalah: proses steam reforming, oksidasi parsial, dan CO2 reforming.
3. Tahapan Reaksi Fischer-Tropsch (Fischer-Tropsch Process)
Reaksi Fischer-Tropsch (FT) merupakan tahapan reaksi yang paling penting dalam teknologi GTL. Pada tahap reaksi FT ini, gas sintesis dikonversi menjadi hidrokarbon rantai panjang. Jenis katalis, jenis reaktor, rasio H2/CO, dan kondisi operasi merupakan faktor yang menentukan jenis produk yang dihasilkan.
Reaksi FT keseluruhan secara umum :
(1): nCO + mH2 -> C1 – C40- (alkana) + H2O
(2): nCO + mH2 -> C1 – C40- (alkena) + ½n CO2
Keterangan: harga n dan m sangat bergantung pada metode pembuatan gas sintesis dan jenis bahan baku yang digunakan, misalnya: rasio H2/CO gas bumi = 1.8-2.3, batubara = 0.6-0.8.
Jenis katalis yang banyak digunakan adalah katalis berbasis kobalt (Co) dan besi (Fe). Jenis reaktor FT yang digunakan misalnya terdiri dari reaktor slurry, fixed bed, dan fluidized. Reaktor-reaktor tersebut dioperasikan pada rentang suhu antara 149°C-371°C dengan tekanan antara 0.7-41 bar.
4. Tahapan Peningkatan Kualitas Produk (Product Upgrading)
Tahap ini merupakan tahap untuk mendapatkan produk sesuai jenis dan spesifikasi yang diinginkan. Proses yang digunakan merupakan proses yang telah digunakan secara komersial pada kilang-kilang minyak umumnya, seperti: proses catalytic reforming, fluid catalytic cracking, isomerisasi, alkilasi, dll.
3.3.3 Biofuel
Biofuel adalah setiap bahan bakar baik padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik, sehingga dapat dikatakan bahan biofuel adalah bahan bakar hayati. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial, domestik atau pertanian.( http://id.wikipedia.org)
Ada tiga cara untuk pembuatan biofuel. Diantaranya, yaitu :
1. pembakaran limbah organik kering (seperti buangan rumah tangga, limbah industri dan pertanian);
2. fermentasi limbah basah (seperti kotoran hewan) tanpa oksigen untuk menghasilkan biogas (mengandung hingga 60 persen metana), atau
3. fermentasi tebu atau jagung untuk menghasilkan alkohol dan ester dan energi dari hutan (menghasilkan kayu dari tanaman yang cepat tumbuh sebagai bahan bakar).
Terdapat beberapa macam cara menggunakan teknologi biofuel, contohnya adalah dengan cara pemakaian secara daur ulang. Prosesnya yang pertama adalah tanaman biofuel menghasilkan hidrokarbon, yang ketika sudah siap dipanen akan disuling oleh pabrik penyulingan. Kemudian dihasilkan bahan bakar biofuel, biofuel dipakai untuk pesawat terbang yang menghasilkan hasil pembakaran berupa CO2. CO2 (plus air) dengan bantuan matahari diproses secara fotosintesis oleh tanaman biofuel yang menghasilkan hidrokarbon. Sehingga siklus kembali berputar.
Sebenarnya bioful di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebelumnya pada jaman penjajahan Jepang, rakyat indnesia dipaksa menanam tanaman jarak di pekarangan rumah untuk kemudian dijadikan bahan bakar biofuel. Bahan bakar biofuel tersebut dimanfaatkan oleh tentara Jepang untuk kepentingan peperangan. Sekarang buah jarak (jatropha) kembali dimanfaatkan oleh Air New Zealand, yang diujicobakan pada Boeing 767 pada akhir desember 2008 lalu. Tak mau kalah, Continental Airlines dengan pesawat Boeing 737-800 juga menguji terbang biofuel yang berasal dari kombinasi algae (ganggang) dan jarak. Dilanjutkan dengan Japan Airlines (JAL) yang juga sempat menguji coba biofuel campuran tanaman camelina (sebangsa rerumputan), algae, dan jarak pada salah satu mesin Boeing 747.
Seluruh uji coba yang dilakukan beberapa maskapai penerbangan di berbagai Negara tersebut terlaksana dengan baik dan dinilai berhasil, karena dapat mengurangi emisi gas buang yang dapat merusak lingkungan. Teknologi biofuel yang dicoba memang belum sepenuhnya menggunakan bahan bakar hayati, pada uji coba yang dilakukan masih memakai campuran avtur dengan perbandingan 50 : 50. Tapi ini membuktikan kepraktisan. Sebuah pesawat yang terbang menggunakan avtur tidak perlu repot membuang/menguras tangki bahan bakarnya jika bandara tujuan hanya menyediakan biofuel atau sebaliknya.
Di Indonesia sendiri meskipun Pertamina bekerja sama dengan pihak swasta telah membuat proyek pembuatan bahan bakar alternatif seperti pengolahan etanol menjadi DimethylEter (DME), hanya ditujukan sebagai bahan bakar kendaraan dan kebutuhan rumah tangga. Belum ada satupun realisasi buat sektor industri penerbangan. Padahal kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi udara sangat besar seiring dengan peningkatan pemakai jasa udara baik penerbangan domestik maupun internasional. Angka dari INACA (Indonesia National Air Carrier) menunjukan perkiraan peningkatan jumlah penumpang sebesar 9% tahun ini. (www.indoflyer.net)
Sebenarnya di Indonesia sangat kaya akan gas alam dan tanah yang subur untuk ditanamani tanaman jarak yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi bahan baku biofuel. Pertamnia bisa saja memanfaatkan kekayaan yang ada di Tanah Air untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar dengan membuat industri pengolahan buah jarak. Memang bukan perkara mudah dalam mewujudkannya, perlu banyak modal untuk mewiujudkan hal tersebut. Namun tidak ada yang tidak mungkin jika ada kemauan dan usaha yang keras. Kerjasama antar perusahaan dalam negeri juga dapat menjadi alternatif untuk mempermudah jalannya perlaihan bahan bakar avtur menjadi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, seperti Pertamina Aviation dengan maskapai milik pemerintah Garuda Indonesia misalnya. Demi terciptanya lingkungan yang lebih baik dan terhindarnya industri penerbangan dari krisis bahan bakar.
Jangan lupa melibatkan pihak kampus. IPB sebagai kampus yang berbasis pertanian dapat meriset lebih lanjut pemanfaatan tanaman lain, tidak sebatas jarak dan minyak kelapa karena setiap tanaman secara garis besar dapat menghasilkan hidrokarbon. Tidak ketinggalan peran kampus berbasis teknologi seperti ITB, ITS, dan perusahaan berbasis teknologi penerbangan seperti PT. Dirgantara Indonesia yang bisa membuat alat pengolah biofuel sekaligus membantu kelayakan penerapan bahan bakar alternatif buat pesawat terbang.
Bayangkan peran serta yang terjalin jika dapat terwujud. Betapa menguntungkannya bagi industri-industri yang berperan dalam teknologi biofuel ini. Mulai dari pertanian, penyulingan, distribusi, transportasi, dan banyak lainnya. Namun tidak semuanya berpendapat serupa dan setuju dengan teknologi biofuel ini, ada isu yang mengatakan bahwa energi alternatif ini bukan merupakan suatu solusi yang tepat untuk melindungi lingkungan. Ada yang mengatakan bahwa penanaman tanaman yang dibutuhkan untuk memproduksi biofuel membutuhkan lahan yang banyak, sehingga dalam proses pengadaannya diperlukan pembukaan lahan yang dipenuhi dengan cara pembukan hutan. Namun hal tersebut bukanlah menjadi masalah besar, karena pada dasarnya biofuel tidak hanya dapat dibuat dengan menggunakan tanamanan yang ditanam di tanah, ada juga tanaman alga yang dapat menjadi alternatif bahan baku pembuatan biofuel. Tanaman alga ditanam di daerah perarian, dan tidak tergantung pada kepada tanah.
Kiprah British Airways (BA) juga dapat menjadi contoh, usaha maskapai penerbangan asal inggris yang baru-baru ini bisa ditiru dengan memanfaatkan biomassa yang berasal dari sampah. Menurut rencana, fasilitas pengolahan biomassa milik British Airw dan investor asal Amerika, Solena Group akan menghasilkan 16 juta galon bahan bakar low carbon dari 500,000 ton limbah sampah organik dan makanan. Belum ada informasi lebih lanjut karena diperkirakan baru akan diproduksi tahun 2014 mendatang.(www.indoflyer.net)
Pengembangan bahan bakar pengganti avtur masih melalui jalan panjang tapi harus dimulai segera dan belum terlambat. Seandainya ini dapat terwujud bahan bakar alternatif dapat menjadi simbol kemandirian bangsa Indonesia dan membangun bukan hanya sekedar industri penerbangan melainkan sebuah impian industri penerbangan yang bertumpu dan ramah terhadap lingkungan sebagai perwujudan dari cita-cita green aviation. (http://www.indoflyer.net)
3.3.4 Bahan Bakar Berkualitas dan Ramah Lingkungan
pemilihan energi alternatif pengganti bahan bakar avtur menjadi semakin rumit, karena perhatian tidak hanya tertuju pada bagaimana cara mendapatkan sumber energi yang dapat menggantikan avtur tanpa merubah struktur atau komponen pesawat. Penelitian juga difokuskan pada energi alternatif yang ramah lingkungan dan dapat digunakan secara terus-menerus. Produk GTL khususnya diesel, telah terbukti memiliki karakteristik yang lebih baik bila dibandingkan dengan diesel yang dihasilkan dari minyak bumi, di samping itu diesel GTL juga lebih ramah lingkungan karena mampu mereduksi emisi dari gas buang yang dihasilkan. Alternatif-alternatif lain seperti biofuel juga sangat berpotensi untuk menjadi bahan bakar pengganti avtur. Di Indonesia yang memiliki tanah yang amat subur, sangat berpotensi ditanami buah jarak yang bijinya merupakan bahan baku pembuatan bahan bakar biofuel. Walaupun penggunaan biofuel masih memerlukan campuran bahan bakar avtur sebagai campuran, namun teknologi ini dinilai mampu mengurangi emisi gas buang yang dapat merusak lingkungan.
3.4 Persaingan Maskapai Nasional
Pada dasarnya dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan perilaku yang wajar, akan tetapi langkah-langkah yang diambil untuk mencapai tujuan tersebut harus tetap dalam koridor yang diperbolehkan dan tidak melenceng dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kondisi ini tentunya tidak hanya membatasi perilaku sektor swasta saja akan juga berlaku untuk negara dalam hal negara bertindak sebagai pelaku usaha seperti dalam kasus maskapai BUMN. Meskipun demikian tentunya ada sektor-sektor tertentu yang oleh undang-undang memang diberikan monopoli kepada negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Undang-undang No. 15 Tahun 1992 yang kini telah diperbaharui oleh Undang-Undang No.1 Tahun 2008 tentang penerbangan merupakan salah satu tonggak deregulasi bisnis penerbangan di Indonesia. Dengan adanya undang-undang ini, maka jumlah perusahaan jasa penerbangan meningkat tajam dari tahun-ketahun. Sebelum adanya undang-undang ini perusahaan jasa penerbangan di Indonesia hanya beberapa perusahaan, khususnya yang tergabung dalam International Air Transport Association (IATA). Banyaknya pemain dalam industri ini antara lain karena industri penerbangan memiliki prospek kedepan yang sangat baik. Karena banyak rumor yang beredar mengatakan meskipun dalam keadaan kondisi merugi, harga penjualan tiket masih mampu menutupi variable cost. Apalagi dalam kondisi perusahaan memperoleh untung, kondisi harga tiket masih lebih tinggi dari average cost, keuntungan yang diperoleh perusahaan jasa penerbangan akan berada di atas keuntungan normal. Kondisi ini tentunya menjadi daya tarik sendiri bagi investor atau pelaku usaha untuk masuk dalam bisnis jasa penerbangan nasional. Dengan semakin banyaknya pemain dalam industri penerbangan ini, menyebabkan tingkat persaingan antar operator transportasi udara menjadi semakin tinggi. Sebagai akibatnya industri jasa penerbangan tersebut harus melakukan penyesuaian harga jual tiket. Hal ini memaksa perusahaan jasa penerbangan untuk melakukan efisiensi setinggi mungkin dengan cara menghilangkan fasilitas penerbangan, agar perusahaan tersebut tidak mengalami kerugian terus menerus. Disamping itu memaksa maskapai penerbangan untuk melakukan strategi bisnis yang berani dalam menghadapi kompetisi tersebut.
Undang-Undang No.1 Tahun 2008 masih merupakan hal yang baru, maka banyak pihak yang belum begitu menyadari peran, fungsi dan aturan main dari undang-undang ini. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sebagai lembaga independen yang mempunyai kewenangan untuk menegakan hukum persaingan usaha seringkali menemui banyak hambatan baik dari kalangan swasta maupun dari kalangan pemerintah sendiri. Hal ini antara lain terlihat dari masih adanya peraturan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pejabat negara justru bertentangan dengan prinsip persaingan usaha. Selain itu dengan telah diberlakukannya undang-undang otonomi daerah membawa pengaruh terhadap struktur pasar yang ada pada saat ini. Kewajiban pemerintah daerah untuk mencari sumber pendanaannya sendiri, disamping juga adanya pemberian kewenangan yang relatif lebih besar membawa akibat banyaknya kebijakan-kebijakan daerah yang membatasi ruang gerak pelaku usaha dari daerah lain. Kebijakan-kebijakan yang lebih mengutamakan BUMD atau pengusaha lokal dengan menutup kemungkinan pelaku usaha dari daerah lain untuk masuk ke dalam pasar, kemungkinan melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
3.5 Perang Tarif untuk Pengangkutan Udara
Dengan adanya persaingan antar pelaku usaha, maka konsumen memperoleh keuntungan berupa penawaran harga yang lebih murah dan semakin banyaknya alternatif pilihan barang atau jasa yang ditawarkan. Alternatif pilihan ini memberikan kesempatan kepada konsumen untuk dapat memilih barang atau jasa sejenis yang mempunyai kualitas terbaik dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan barang atau jasa sejenis lainnya. Pelaku usaha baik itu produsen maupun distributor harus dapat melakukan efisiensi dalam menekan biaya produksi atau distribusi, tentunya dengan tanpa mengurangi kualitas dari produk yang ditawarkannya, sehingga pada akhirnya dia dapat menawarkan produk dengan harga yang lebih rendah tanpa mengurangi kualitasnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa industri jasa penerbangan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang demikian pesatnya. Kondisi ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat Jenderal Penerbangan Udara Departemen Perhubungan Republik Indonesia, tercatat bahwa pada tahun 1999 jumlah perusahaan penerbangan niaga tidak berjadwal mencapai 55 buah perusahaan. Namun demikian untuk kategori perusahaan penerbangan niaga yang berjadwal dari tahun 1996 terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2001, sehingga jumlahnya mencapai 19 buah perusahaan. Pada tahun 1998 jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadwal sempat mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari 6 perusahaan menjadi 5 perusahaan.
Pertumbuhan jumlah perusahaan penerbangan yang menyediakan jasa penerbangan domestik dilihat dari perspektif konsumen, memberikan dampak yang positif. Masyarakat memperoleh keuntungan dengan semakin banyaknya pilihan jasa penerbangan yang menawarkan berbagai kemudahan, seperti pemberian servise yang semakin baik dan harga ticket yang sangat bersaing. Pertanyaan yang paling mendasar selanjutnya adalah apakah kondisi tersebut akan secara otomatis berpengaruh terhadap tingkah laku konsumen (consumer behaviour). Banyak factor penentu yang berpengaruh terhadap pilihan konsumen untuk memilih salah satu operator maskapai penerbangan tertentu atau bahkan memilih salah satu jenis alat pengangkutan yang ada. Pertimbangan tersebut diantaranya adalah harga dan waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, dan yang paling penting adalah faktor keamanan perjalanan. Bagaimana dengan pandangan konsumen terhadap tingkat keamanan yang ditawarkan oleh suatu operator angkutan udara, apakah menjadi bahan masukan dalam memilih suatu maskapai penerbangan. Bagaimana dengan penawaran pelayanan yang diberikan oleh suatu operator angkutan udara, kemudahan fasilitas check in, ketepatan jadwal waktu, dll, apakah menjadi alasan dalam pemilihan suatu operator angkutan udara.
Kemampuan masyarakat konsumen untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan suatu jenis produk akan sangat berpengaruh pada waktu proses pengambilan keputusan untuk menggunakan produk barang atau jasa yang bersangkutan. Kualitas maupun kuantitas suatu informasi yang diterima oleh konsumen akan mempengaruhi persepsi konsumen terhadap suatu produk tertentu, hal ini sesuai dengan prinsip optimal information. Kondisi ini tentunya juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kemudahan masyarakat untuk mengakases informasi yang benar mengenai produk tersebut. Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen apakah iklan mengenai jasa penerbangan di Indonesia merupakan salah satu sumber informasi penting bagi konsumen dalam memilih suatu maskapai penerbangan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah iklan yang ditampilkan tersebut dapat mewakili kondisi sebenarnya dari tingkat pelayanan yang diberikan oleh maskapai penerbangan tersebut. Informasi yang salah akan dapat menyebabkan konsumen melakukan pilihan-pilihan yang irrasional atau tidak tepat.
(http://www.scribd.com/doc/21539305/Kebijakan-Persaingan-Usaha-Penerbangan)
Namun demikian dalam hukum persaingan usaha terdapat isu yang dianggap sebagai upaya untuk melakukan kecurangan dalam persaingan usaha yaitu adanya praktek jual rugi (predatory price). Dalam hal ini produsen atau distributor menjual produk dengan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan produk sejenis yang merupakan pesaingnya, dengan maksud untuk memaksa pesaingnya untuk keluar dari pasar yang bersangkutan. Untuk melihat apakah seorang pelaku usaha melakukan predatory price ini juga harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Secara umum predatory price terjadi dalam hal harga produk dibawah harga normal dari produk sejenisnya. Selanjutnya apabila suatu produk ditawarkan untuk jangka waktu tertentu dengan harga di bawah rata-rata total cost untuk meproduksi produk tersebut bisa dikategorikan sebagai predatory price. Total cost disini adalah jumlah dari biaya tetap (fixed cost) dengan variable cost ditambah lagi dengan biaya penjualan dan biaya administrasi serta biaya lain-lain. Adanya penekanan pada jangka waktu tertentu untuk penawaran suatu produk juga cukup penting untuk menentukan apakah ada indikasi praktek predatory price, karena seringkali pelaku usaha melakukan penjualan dengan harga lebih rendah dari harga tertentu untuk event atau periode tertentu misalnya diskon atausale pada masa liburan sekolah, hari raya, atauevent khusus lainnya.
Dari sudut pandang hukum persaingan usaha adanya praktek predatory price dapat dianggap sebagai salah satu praktek persaingan usaha yang curang. Dengan adanya penawaran harga suatu produk di bawah harga rata-rata pasar untuk jangka waktu yang lama akan menyebabkan produk sejenisnya tidak laku dan pada akhirnya dapat menyebabkan produsen dari produk tersebut akan mati. Setelah pesaing keluar dari pasar tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktek predatory price ini akan menjadi satu-satunya pelaku usaha dipasar tersebut sehingga dia dapat menentukan harga dengan sewenang-wenang. Akan tetapi terhadap teori ini terdapat argumen yang menyatakan bahwa pada saat pelaku usaha tersebut menaikan harga produk untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada saat yang sama akan muncul pelaku-pelaku usaha lain yang menggantikan posisi pelaku usaha sebelumnya yang telah mati, sehingga pada akhirnya tetap terdapat keseimbangan harga pasar yang wajar.
( http://maskapai.wordpress.com/)
3.6 Peraturan Perundang-undangan
Dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu tonggak penting dalam sistem perekonomian di Indonesia, yang menjadi salah satu instrumen untuk memberlakukan sistem ekonomi pasar. Lebih dari 30 tahun dibawah rezim Orde Baru, Indonesia telah melakukan pembangunan di segala bidang khususnya pembangunan ekonomi. Hasil-hasil pembangunan tersebut dapat terlihat baik dari sudut pandang indikator makro ekonomi seperti tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta secara mikro dapat terlihat dari sektor bisnis mengalami kemajuan pesat seperti sektor properti dan perbankan. Namun demikian kondisi kemajuan ini tidak diimbangi dengan perangkat perundang-undangan yang mengatur persaingan di antara mereka, sehingga akibatnya banyak pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya mengandalkan cara-cara yang tidak baik seperti menggunakan pengaruh kekuatan politik atau birokrasi untuk memenangkan persaingan usaha. Disamping itu tidak sedikit kalangan pejabat atau elit politik yang juga terjun ke dunia bisnis sehingga seringkali dalam menjalankan kebijakan publiknya mendasarkan pada keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Dengan adanya hukum kompetisi di Indonesia tentunya diharapkan hal-hal tersebut tidak terjadi lagi. Namun demikian efektifitas dari undang-undang ini dalam mencegah adanya praktek-praktek bisnis yang curang juga masih perlu dikaji dan masih menjadi bahan perdebatan. Sebagai contoh sebagian orang menganggap bahwa keberadaan hukum kompetisi di Indonesia dalam konteks globalisasi perdagangan merupakan salah satu cara bagi perusahaan-perusahaan yang berasal dari negara-negara maju untuk melakukan penetrasi pasar ke negara-negara berkembang. Tentunya pendapat ini masih merupakan bahan yang dapat diperdebatkan kebenarannya.
Belum lengkapnya peraturan pelaksana dari undang-undang anti monopoli juga merupakan salah satu penyebab terhambatnya KPPU dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Misalnya sampai saat ini belum ada aturan main yang mengatur mengenai merger, akuisisi dan joint venture, padahal hal tersebut sangat penting bagi KPPU dalam melihat posisi dominan (pemusatan kekuatan ekonomi) dari suatu pelaku usaha disamping juga untuk melihat sejauh mana adanya perjanjian yang mengandung unsur persaingan curang. Mengenai praktek persaingan tarif angkutan pesawat udara antara beberapa maskapai penerbangan, ketentuan dalam Undang-undang No. 5 tahun 1999 mengatur hal tersebut ke dalam beberapa pasal yaitu pasal 20 yang melarang pelaku usaha melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dan pasal 21 larangan melakukan kecurangan dalam menentukan biaya produksi.5 Meskipun pasal 20 menyatakan larangan untuk menjual rugi, namun dalam pelaksanaannya akan mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan kedua peraturan tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan ketentuan dari beberapa hukum kompetisi di negara lain yang menyatakan predatory price sebagai illegal per se. Sesuai dengan ketentuan tersebut ada tiga unsur dari jual rugi yaitu:
1. dilarang melakukan jual rugi atau menerapkan harga yang sangat rendah.
2. dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan pesaingnya.
3. menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak seha.
Sebagaimana penjelasan di atas, untuk menentukan adanya praktek jual rugi sangat terkait dengan perbandingan antara harga jual barang/jasa dengan biaya produksi barang/jasa tersebut. Permasalahan yang timbul dalam prakteknya sulit untuk menentukan apakah harga jual suatu produk sangat rendah ataukah masih dalam batas kewajaran. Harga yang sangat rendah tersebut apakah merupakan cerminan dari efisiensi biaya termasuk didalamnya strategi bisnis ataukah merupakan strategi mematikan pesaingnya. Termasuk dalam kategori strategi bisnis yang sah adalah pemberian diskon atau potongan harga jual. Unsur lain yang perlu diperhatikan juga adalah dalam penentuan biaya produksi apakah ada unsur subsidi silang dari usaha lain atau jalur penerbangan lain. Garuda sebagai salah satu maskapai penerbangan milik negara juga harus melayani jalur penerbangan lain yang secara komersial kurang menguntungkan, sebagai salah satu bentuk pelayanan umum. Sebagai akibatnya pada rute penerbangan yang menguntungkan (golden route) Garuda harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk menutup biaya produksi secara keseluruhan. Namun demikian salah satu cara yang sering dipakai untuk menilai apakah harga jual suatu produk sangat rendah atau tidak adalah dengan melihat dan membandingkan dengan harga rata-rata yang ditawarkan pada pasar yang sejenis. Disamping juga tetap harus memperhatikan unsur besarnya biaya produksi yang telah dikeluarkan.
Untuk menentukan apakah penentuan suatu harga yang sangat rendah tersebut merupakan tindakan untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya perlu dilihat dari jangka waktunya. Perlu dilihat apakah rentang waktu penawaran penjualan ticket dengan harga spesial tersebut merupakan bulan promosi yang merupakan salah satu strategi bisnis ataukah penawaran tarif spesial tersebut benar-benar ditujukan untuk mematikan kompetitor pada pasar yang sama. Semakin lama hal ini terjadi, semakin besar adanya indikasi bahwa penjualan ticket pesawat dengan harga murah tersebut merupakan strategi untuk mematikan kompetitornya. (http://www.dephub.go.id/)
3.7 Bandar Udara Indonesia
Manajemen Pengelolaan lingkungan di Bandar Udara di Indonesia masih kurang baik terutama pada Aspek Teknik Operasional yang pengelolaan lingkungannya belum maksimal. Sistem pengelolaan lingkungan yang telah dilaksanakan masih menyebabkan adanya beberapa aspek lingkungan seperti kebisingan dan pencemaran air yang melebihi ambang batas baku mutu lingkungan yang telah di tetapkan oleh Peraturan Pemerintah
Manajemen pengelolaan Bandar udara perlu melakukan pembenahan diri dengan melakukan perbaikan mulai dari Aspek Teknis Operasional, Institusi, Pembiayaan, Regulasi dan Peran Serta Masyarakat. Hal tersebut karena masih banyak kerusakan lingkungan yang timbul akibat aktifitas bandara seperti kebisingan di daerah Perumahan yang ada di sekitar bandara masih tinggi, akibat dari suara dan getaran yang ditimbulkan oleh mesin pesawat. Pencemaran air terutama untuk parameter seperti BOD, COD dan Penol masih di atas baku mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh cairan buangan pesawat yang belum diolah secara baik.
Penyusunan manajemen lingkungan di Bandar Udara di Indonesia yang baik sesuai dengan kebijakan lingkungan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, sangat diperlukan. Langkah-langkah yang harus dilakukan diantaranya adalah pengendalian kebisingan dan pengendalian pencemaran air guna mengatasi pencemaran lingkungan.
Seharusnya pengoperasian bandar udara tidak hanya difokuskan pada pergerakan penumpang dan barang saja, mengenai sistem kontrol kualitas lingkungan harus diberikan prioritas yang sangat tinggi agar terwujud lingkungan yang berkualitas, seperti pengelolaan limbah, manajemen pengelolaan buangan dan kegiatan yang ramah lingkungan. Di Indonesia, dampak pembangunan bandar udara dan fasilitas umum terhadap lingkungan hanya mendapat sedikit perhatian. Masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai damapak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas Bandar udara, dan baru pada akhir-akhir ini masyarakat mulai peduli dampak pengoperasian bandar udara terhadap lingkungan setelah isu-isu mengenai kerusakan lingkungan marak dibicarakan.
Perencanaan dan pengembangan pembangunan bandar udara di Indonesia ke depan harus lebih memperhatikan lingkungan dan berwawasan lingkungan (eco-airport), sehingga bandar udara dapat berfungsi secara efektif dan efisien tidak hanya ditinjau dari aspek teknis saja tapi juga dari segi sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan lingkungan. Aturan-aturan yang berlaku harus mengadopsi aturan lingkungan hidup yang berlaku di dunia, bahkan seharusnya lebih baik lagi. Bandar udara sebagai satu layanan penerbangan sipil dalam pengelolaan lingkungannya juga harus mengikuti standar yang berlaku di dunia. Beberapa produk hukum yang harus dipatuhi dalam pengelolaan bandar udara adalah aturan-aturan ICAO (International Civil Aviation Organization) dan FAA (Federal Aviation Administration) dan aturan-aturan lain yang berlaku di dunia.
Penerepan eco-airport di bandar udara dapat dilakukan dengan perubahan dalam pola pikir, tingkah laku, pengetahuan, dan perbaikan teknologi dibidang penerbangan sipil dan pengelola bandar udara yang berbasis lingkungan. Konsep atau filosofi dasar dari eco-airport adalah sebagai berikut:
1. pengoperasian bandar udara yang mengikuti perspektif lingkungan udara secara global.
2. mengoperasikan bandar udara yang bisa eksis secara harmonis dengan lingkungan global;
3. menyelenggarakan bandar udara yang dalam perkembangannya dapat menyesuaikan dengan kebutuhan yang berkelanjutan.
Lingkungan sekitar bandar udara diharapkan dapat mencegah dan mengurangi polusi kebisingan yang ditimbulkan dari mesin pesawat terbang, memanfaatkan penggunaan luas lahan di sekitar bandar udara, mengembangkan hubungan secara regional terhadap bandar udara yang lain, dan mengembangkan keharmonisan bandar udara terhadap wilayahnya merupakan .
Pengoperasian Bandar Udara sebagai Bandar Udara Internasional dengan penambahan aktivitas dalam pengopersaiannya semakin menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan yang disebabkan oleh beberapa komponen perusak lingkungan seperti kebisingan, getaran dan pencemaran air yang telah melewati baku mutu oleh karena itu diperlukan pertimbangan-pertimbangan secara teknis, ekonomis dan berwawasan lingkungan dalam pengelolaan lingkungan bandar udara, sehingga perkiraan awal dan yang akan datang mengenai dampak buruk terhadap lingkungan secara teknis dan operasional dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dikelola dengan baik dikedepannya. Berdasarkan tulisan di atas, maka sudah sangat jelas betapa sangat penting adanya kajian mengenai manajemen pengelolaan Banda Udara Berwawasan Lingkungan di seluruh Bandar udara yang ada di Tanah Air.
3.8 Eco-airport
Bandar udara merupakan prasarana pendukung transportasi udara yang pada dasarnya merupakan lingkungan yang terus berkembang seiring kesibukan yang ada di dalamnya. pengoperasi pesawat udara tentunya menimbulkan suara bising yang dirasakan oleh masyarakat sekitar yang tinggal di lingkungan Bandar udara. hal ini tentunya menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang tentunya mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, sehingga menimbulkan kerugian untuk membiaya kesehatan dan biaya fisik yang harus ditanggung oleh masyarakat. Selain suara bising yang dikeluarkan oleh mesin pesawat terbang, getaran yang ditimbulkan oleh mesin pesawat terbang juga dapat menyebabkan turunnya tingkat kualitas lingkungan. Tidak cukup sampai pada getaran dan kebisingan, penurunan kualitas lingkungan seperti penurunan kualitas air permukaan dan permukaan tanah juga disebabkan oleh limbah yang dihasilkan oleh Bandar udara.
Eco-airport adalah airport di mana telah dilakukan pengukuran yang terukur terhadap beberapa komponen yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan untuk menciptakan lingkungan yang sehat di bandara dan sekitarnya. Konsep eco-airport telah di implementasikan di beberapa bandara di Jepang dan juga akan diimplementasikan di negara- negara ASEAN. Inti dari eco-airport ini adalah reduce, reuse, recycle. Ada delapan komponen eco-eirport yang harus diperhatikan dalam pengoperasian transportasi penerbangan, yaitu komponen udara kebisingan dan getaran, air, soil, sampah, energi, lingkungan alami, dan lainnya.
Studi tentang eco-airport telah dilakukan pada tahun 2006 dengan mengambil sampel pada airport di negara-negara ASEAN dan Jepang. Jepang diwakili oleh Narita International Airport, New Chitose Airport, dan Tokyo International Airport. Negara ASEAN diwakili Indonesia (Soekarno-Hatta International Airport dan Juanda International Airport), Singapura (Changi International Airport dan Seletar Airport), Malaysia (Kuala Lumpur International Airport/KLIA), Brunei (Brunei International Airport), Vietnam (Noi Bai Internationa Airport, Da Nang International Airport, dan Tan Son Nhat International Airport), Myanmar (Yangon International Airport dan Mandalay International Airport), Thailand, Philippines, Camboja, dan Laos. Pada tahun 2008 direncanakan akan dilakukan studi tentang penyusunan standar eco-airport dalam rangka pengimplementasian eco-airport di negara-negara ASEAN dan Jepang.
Beberapa contoh penerapan eco-airport di Narita Airport, Jepang, di mana sampah padat maupun sampah cair dari domestik bandara akan di recycle dengan menggunakan incinerator dan digunakan kembali untuk keperluan bandara. Untuk konsumsi energi, ditingkatkan kepedulian terhadap aktivitas konservasi energi dan penggunaan kendaraan rendah polusi. Di Malaysia, pengembangan airport yang berwawasan lingkungan dikenal dengan semboyan green globe 21. Beberapa cara untuk mengurangi tingkat kebisingan di Kuala Lumpur International Airport (KLIA) adalah dengan melakukan gazetted no build zone dalam radius 10 km x 10 km, penanaman pohon dan membuat hutan buatan di sekeliling airport untuk mengurangi tingkat kebisingan. Sementara pengembangan airport yang berwawasan lingkungan di Singapura dikenal dengan slogan Singapore Green Plan 2012.
Salah satu contoh komponen eco-airport yang mendapat perhatian adalah target penghematan penggunaan air untuk keperluan domestik bandara Changi dan pemrosesan kembali air buangan untuk keperluan domestik bandara. Kondisi Indonesia secara umum managemen lingkungan di Indonesia dikenal dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Ada tiga komponen penting dalam amdal, yaitu kerangka acuan analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Sementara proses managemen lingkungan bandara di Indonesia diimplementasikan dalam tiga fase yaitu proses perencanaan prakonstruksi bandara, proses konstruksi bandara, dan proses pascakonstruksi atau operasional kegiatan penerbangan. Parameter dalam amdal adalah komponen fisik-kimia, yaitu udara, kebisingan, getaran, air, tanah, sampah, dan enrgi. Sedangkan komponen biologi berupa flora dan fauna, serta komponen sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat. Pada prinsipnya komponen dalam amdal secara umum hampir sama dengan konsep eco-airport, hanya perbedaannya terletak pada komponen sosial, ekonomi, budaya, dan kesehatan masyarakat.
Di Indonesia problem-problem ini lebih menonjol dibanding Jepang. Beberapa contoh problem lingkungan akibat dari operasi penerbangan, di antaranya, dampak terhadap polusi udara, kebisingan, dan lainnya. Dampak polusi udara akibat aktivitas pergerakan pesawat dan kendaraan di darat diatasi dengan landscaping di lingkungan airport dan sekitarnya, proses daur ulang sampah baik yang cair dan padat dilakukan dalam incinerator yang akan mengurangi dampak yang terjadi.
Tidak dibenarkan membakar sampah secara terbuka karena akan menimbulkan polusi yang lebih besar. Dampak lingkungan akibat kebisingan diatasi dengan pemasangan peredam suara pada bangunan terminal dan bangunan penunjang lainnya, menerapkan noise contour map, tree planting di lingkungan bandara dan sekitarnya.
3.8.1 Eco-airport di Indonesia
Di Indonesia, inovasi eco-airport sudah mulai diterpakan. Ditandai dengan dimulainyanya seminar seputar eco-airport yang diselenggarakan oleh dephub selama 2 hari. Rencananya ada enam Bandar udara yang menjadi proyek percontohan eco-airport. Diantaranya adalah Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta, Bandara Juanda Surabaya, Batam, Palembang, Tarakan dan, Bandar udara Ngurah Rai Bali . Salah satu hal paling sederhana yang harus diterapkan di setiap bandar udara tersebut adalah keran di bandara setiap menit berhenti sendiri, tak usah diputar. Lalu penggunaan lampu dari atas (sky-light) menembus lantai dan dinding kaca dan menembus ke ruang lainnya. Sehingga dapat menghemat penggunaan listrik di bandara.
3.8.2 Eco-Airport Soekarno-Hatta (Cengkareng)
Di Bandar udara internasional soekarno-hatta, Cengkareng. Inovasi eco-airport mulai diterapkan mulai dari hal-hal yang sangat sederhana. Contoh yang sangat sedrhana adalah dengan diberlakukannya peperless dengan tujuan penghematan penggunaan kertas. Pada umumnya informasi tentang gaji dicetak di selmabar kertas, padahal jumlah karyawan ada 1.000 lebih karyawan yang bekerja di bandara, jika di-print bisa seharian dan menghabiskan banyak kertas. Hal tersebut sangat tidak ramah lingkungan, karena kertas berbahan baku dari pohon yang kemudian diolah menjadi kertas. Solusinya adalah infosmasi mengenai gaji karyawan dicantumkan di dalam website dan karyawan bisa cek di website dengan memasukkan nomor PIN. Ini sangat meneghemat kertas, tinta, dan menghemat energi tentunya. Selain itu, eco-airport juga diterapkan dengan cara penanaman pohon pelindung di sekitar bandara, tujuannya untuk mengurangi polusi suara dan getaran yang ditimbulkan oleh mesin pesawat. Selain itu pohon juga sudah terbukti ampuh menyerap gas buang kendaraaan bermotor. Sehingga diharapkan dapat mengurangi kadar polutan pada udara. dalam melakukan transaksi pembayaranpun Bandar udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Dilakukan dengan sistem online. Para karyawan juga diberi perintah untuk bertugas dengan menggunakan kertas sehemat mungkin dengan cara memberikan surat perintah kepada para staf dan karyawannya melalui surat elektronik. Ini semua upaya membuat bandara ini menuju eco-airport.
3.8.3 Eco-Airport Juwata
Bandar udara Juwata juga memiliki inovasi sendiri dalam menerapkan eco-airport. Bandara yang letaknya berada pada Tarakan ini akan melestarikan hutan yang ada di sekitar bandara yang masih alami, di samping melakukan penghijauan di sekitar pembangunan terminal yang akan dimulai tahun depan. Rencananya 30 hektare lahan yang ada di bandara akan dihijaukan termasuk pembuatan taman.
Di Indonesia, ada 168 bandara yang dikelola Departemen Perhubungan (Dephub). program eco airport merupakan amanat dari Undang-Undang penerbangan Nomor 1 tahun 2009. Dimana dalam UU tersebut, ditetapkan ada kewajiban bagi seluruh bandara di Indonesia untuk melaksanakan eco airport dengan memperhatikan faktor-faktor utama lingkungan. Seperti pencemaran udara, penghijauan, penggunaan air bersih, penghematan energi lisrtik, penggelolaan limbah dan yang lainnya.
Telah ditetapkan 6 bandara sebagai percontohan eco airport di Indonesia satu diantaranya Bandara Juwata Tarakan. Seminar eco-airport yang dilaksanakan selama dua hari tersebut menghasilkan kesepakan, kesepakatan tersebut diantaranya menyepakati dibentuknya council atau komisi. Komisi adalah badan di dalam bandara yang bertugas untuk membantu elemen yang bekerja di bandara menjalankan eco airport. Komisi ini nantinya akan diketuai kepala bandara dan anggotanya seluruh operator penerbangan yang ada di bandara serta seluruh perusahaan yang ada di bandara. Sehingga diharapkan di dalam pelaksanaannya, jika ada sedikit masalah tim akan segera bertindak untuk mencari solusi terbaik secara tim.
Jika dibandingkan dengan Surabaya dan Bali, tarakan memiliki bandara yang sangat kecil. Yang dimana fungsi pemerintah dan fungsi pengusaha menjadi satu tempat. Berbeda dengan bandara soekano-hatta, yang posisi pemerintah dan pengusaha berada pada posisi yang terpisah. organisasi itu harus ditetapkan secara hati-hati, supaya organisasinya kuat. Antara pemerintah dan pengusaha, harus ditentukan secara hati-hati siapa yang harus bertanggung jawab.
Akan menjadi tugas berat bagi pengelola bandara yang memiliki target eco-airport. Namun tidak ada salahnya mengusahakan hal demi terwujudnya lingkungan hidup yang aman dan lebih baik. Dengan adanya eco airport ini diharapkan penumpang yang akan naik dan turun dari pesawat dapat merasakan keteduhan dan kenyamanan, kedamaian dalam hati dan merasa bersahabat dengan lingkungan Tarakan yang luar biasa dalam perjalanannya.
Minggu, 05 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar